Selamat Ulang Tahun, Cinta
#cerpen
Aku merasakan ada sesuatu yang menyilaukan, menerpaku walaupun aku tidak membuka kedua mataku. Karena tidak tahan, aku pun segera mengambil bantal yang selama ini telah menahan kepalaku saat aku tidur, kupindahkan bantal itu ke atas wajahku bermaksud untuk melindungi wajahku dari sinar yang mulai membuatku setengah sadar dari alam mimpiku.
Tapi, setelah memindahkannya, bukannya tertidur aku malah merasa sesak napas dan akhirnya kubuang bantal tak berdosa itu ke lantai.
Dan sekarang, aku pun membuka mataku dan yang pertama kali kulihat adalah langit-langit apartemenku.
Ya, aku tinggal di sebuah apartemen kecil. Aku adalah seorang pelajar SMU yang baru-baru ini lulus ujian.
Galang Harun, itulah namaku. Sekarang umurku sudah 18 tahun. Saat ini keadaan sudah sangat tenang, tidak ada kesibukan seperti saat UN beberapa hari yang lalu.
Benar, hari itu sangat melelahkan, mulai dari harus menghapal soal-soal yg kemungkinan ada di ujian sampai harus ikut les.
Tapi, semua itu sudah berlalu dan yang sekarang hadir hanyalah ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan.
"Haah.."
aku pun menghela napas. Aku segera bangun dari tempat tidurku dan duduk di tepi ranjang. Pandanganku beralih ke sebuah meja yang terletak di samping tempat tidurku. Di atasnya, terdapat sebuah pigura foto, tepatnya foto aku dan teman-temanku. Aku hanya dapat tersenyum tipis memandang foto itu.
Karena melihat itu, pikiranku pun kembali melayang disaat aku berhasil membujuk Sukma belajar bersama. Aku sendiri masih sulit percaya aku bisa melakukannya tanpa harus ribut dengannya.
Saat itu, kulihat Nayla sangat senang karena Sukma akhirnya mau berdamai denganku.
Bukan hanya Nayla, aku sendiri pun juga merasa senang.
"Hah.."
aku menghela napasku untuk yang kedua kalinya.
Aku pun berdiri, berniat untuk menuju kamar mandi dan membersihkan diriku dari keringat. Kuambil handukku yang tergantung di luar lemariku. Saat aku menuju ke kamar mandi, tak sengaja aku melihat kalender yang tergantung di sebelah kamar mandiku. Kuperhatikan kalender itu dengan seksama.
"12 Januari," gumamku.
Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku.
Tapi, kurasa tidak ada orang yang peduli akan hal itu. Aku sendiri juga tidak terlalu memperdulikannya. Buang-buang waktu saja, itulah menurutku. Segera saja aku pergi ke kamar mandi.
.
.
Sekarang, aku sedang berjalan ke sebuah kafe favoritku. Sudah sejak lama aku menjadikan kafe ini sebagai tempat di mana aku makan dan minum jika aku sedang bosan di rumah. Kulihat kafe itu baru saja buka, memang ini masih lumayan pagi, kurasa baru jam tujuh pagi. Segera kupercepat langkah kakiku agar aku bisa segera memesan secangkir kopi.
"Wah, Galang. Pagi sekali kau kemari. Aku baru saja buka," sapa pemilik kafe.
"Aku hanya ingin minum kopi pagi ini,"
aku segera duduk di salah satu kursi di kafe tersebut.
"Oh ya, Lang,"
"Hm..ada apa?" tanyaku.
"Hari ini kan hari ulang tahunmu, karena itu aku akan memberimu makan dan minum gratis,"
"Wah..benarkah. Kalau begitu terimakasih ya, om," sahutku riang.
"Sama-sama. Ini Lang,"
aku diberi semangkuk mie yang masih panas plus kopi tentunya. Aku sendiri tidak menyangka kalau dia ingat dengan hari ulang tahunku. Aku pun segera mengambil sumpit yang ada di depanku.
"Selamat makan," ucapku riang. Segera saja kulahap mie yang masih panas itu. Kurang dari 5 menit, semua mie itu telah berpindah tempat ke dalam perutku.
"Cepat sekali kau menghabiskannya. Apa kau ingin tambah lagi, Lang?"
"Ah! Gak usah om. Sekarang aku mau pergi ke suatu tempat dulu,"
"Ya sudah kalau begitu. Semoga harimu menyenangkan, Lang,"
"Ya, semoga saja. Kalau begitu, aku pergi dulu,"
aku pun beranjak dari kafe itu dan kembali menyusuri jalanan Kota.
Hari ini, aku melihat banyak orang yang memakai baju hitam-hitam. Baju hitam-hitam? Kenapa?
Ah ya benar, kenapa aku bisa lupa. Seharusnya aku mengingat ini sejak tadi. Menurut sebagian orang, hari ini adalah hari yang menyimpan banyak kenangan pahit. Hari di mana teror bom meledak dan menghancurkan sebagian tempat ini. Banyak orang yang tak berdosa meninggal dan kehilangan sanak keluarga mereka karena hal itu.
Tapi, kejadian itu sudah terjadi lama. Sebenarnya bukan hanya mereka yang merasa kehilangan keluarga, aku juga kehilangan orang tuaku karena kejadian itu. Hanya saja, aku tidak menyadarinya. Jelas saja, aku tidak menyadarinya. Bagaimana bisa aku menyadarinya kalau aku sendiri tidak tahu siapa orangtuaku. Benar-benar aneh bukan? Bagaimana bisa seorang anak tidak mengetahui siapa orang tuanya. Selama belasan tahun aku hidup tanpa mengetahui siapa orang tuaku. Bagimana aku bisa bertahan selama itu? Aku sendiri juga tidak tahu. Semua itu berjalan begitu saja.
Tapi, dua tahun yang lalu, aku pun mulai tahu siapa ayahku. Aku tidak menyangka bahwa ayahku sendirilah yang memberitahuku. Benar-benar aneh bukan?
"Haah.."
aku menghela napasku lagi. Tiba-tiba saja aku merasakan ada angin yang menerpaku dan itu menyebabkanku sedikit menggigil, aku memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celanaku. Hari ini, aku mengenakan baju berwarna hitam berlengan panjang dan juga celana panjang berwarna putih. Topiku? Ah, aku menaruhnya di apartemenku, aku sedang tidak ingin memakainya.
"Akhirnya sampai juga," gumamku. Aku melihat sebuah toko bunga di depanku.
Memang, aku berniat membeli bunga dulu sebelum pergi ke tempat yang sedari tadi ingin kutuju. Segera saja kudorong pintu yang memisahkanku dengan toko bunga tersebut. Toko yang dimiliki oleh salah satu temanku.
"Selamat pagi," sapa pemilik toko itu ramah.
"Ah, pagi Si," balasku.
"omg hellouw, Lang. Tumben loe kemari sendiri. Biasanya juga bareng Thea,"
Spontan, kata-kata Sisi membuat wajahku sedikit memerah. Sudah 3 tahun 1 bulan aku berpacaran dengan Thea. Gadis blonde yang sangat cantik dan manis serta baik hati, itulah menurutku.
Apalagi, setelah dia menyatakan perasaannya kepadaku. Benar-benar suatu peristiwa yang membuatku terkejut apalagi pada saat itu dia berusaha menyelamatkanku dan dia hampir kehilangan nyawanya pada saat itu. Mulai saat itulah, aku berusaha akrab dengannya dan akhirnya aku pun berpacaran dengan Thea.
"omg Hellouw Lang, kenapa loe ngelamun?"
pertanyaan Sisi membuat lamunanku buyar seketika.
"Ah..apa?" tanyaku sedikit gugup.
"Ah, sudahlah. Loe kemari mau beli bunga apa ?"
"Hah, bunga apa ya?" ucapku sembari melihat-lihat bunga yang tertata rapi di dalam toko tersebut. Setelah kuperhatikan, toko bunga ini ternyata cukup besar dan bunga-bunganya terlihat sangat segar.
"Ayo Lang, cepat putusin pilihan loe,"
"Mmm...oke. Gue mau beli dua ikat bunga mawar merah,"
"Baiklah, tunggu sebentar ya,"
Sisi pun segera mengambil beberapa bunga lalu dia ikat dan dia bungkus dengan sangat rapi. Dia terlihat sangat terampil dalam hal itu.
"gue harus bayar berapa?" tanyaku kepada Sisi yang sedang memberiku kedua bungkus bunga tersebut.
"Ah, khusus buat hari ini, gue kasi gratis karena hari ini adalah ultah loe," sahut Sisi sambil tersenyum.
"serius? Kalau gitu, thanks, Si," sahutku dengan cengiranku.
"urwel Lang,"
Aku segera pergi dari toko bunga Sisi. Sekali lagi, aku benar-benar tidak menyangka kalau Sisi ingat hari ulang tahunku padahal aku tidak pernah memberitahunya. Kuperhatikan dua ikat bunga yang kubawa di lengan kiriku. Bunga mawar, kurasa ini cocok untuk dia, kuharap dia menyukainya.
Kulihat banyak sekali orang yang sedang berjalan di sekitarku. Tempat yang mereka tuju mungkin sama dengan tempat yang ingin kutuju.
Setelah berjalan beberapa lama, akhirnya aku mulai bisa melihat satu dari dua tempat yang sedari tadi ingin kutuju. Kulihat sudah banyak penduduk yang berada di sana. Dan aku pun mulai memasuki tempat tersebut. Tempat yang memiliki banyak kenangan, tapi bukan kenangan indah melainkan kenangan yang menyedihkan. Tempat di mana orang jarang bisa tertawa bila berada di sana. Jika kita pergi ke sana, hanya satu ekspresi yang muncul yaitu kesedihan. Kesedihan akan seseorang yang sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Ya, di sinilah aku berada sekarang. Di sebuah tempat yang terletak di sudut Kota, peMakaman umum.
Tentu aku kemari bukan tanpa sebab. Aku kemari ingin mengunjungi makam orang tuaku, orang tua yang baru aku ketahui sejak dua tahun yang lalu. Menyakitkan memang, aku harus memendam rasa keingintahuanku tentang orang tuaku selama belasan tahun. Dan akhirnya dua tahun yang lalu, aku mengetahui siapa orang tuaku. Sebenarnya, aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku memiliki orang tua sehebat mereka.
Ayahku bernama Puguh.
Ibuku bernama Dewi.
Aku mulai memasuki area makam tersebut. Aku banyak melihat orang yang sedang mengunjungi makam keluarga mereka yang meninggal. Melihat itu, perasaan bersalah mulai menghantuiku.
Tapi, sudahlah, sebaiknya aku segera mencari makam orang tuaku.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencari makam orang tuaku karena aku sudah hafal letak makam mereka. Aku sudah sangat sering kemari walau hanya sekedar memberi salam pada mereka. Segera saja aku pergi ke makam orang tuaku. Makam mereka terletak bersebelahan sehingga memudahkanku untuk memanjatkan doa kepada mereka berdua sekaligus. Segera saja kutaburkan bunga diatas pusara mereka.
"Hai papsky, mamsky. Bagaimana kabar kalian?" gumamku sendiri.
"Kuharap kalian berdua baik-baik di sana," lanjutku.
"Kalian tahu, kan? Hari ini adalah hari ulang tahunku. Biasanya setiap orang berulang tahun, orang itu bisa meminta satu permohonan dan biasanya permohonan itu akan terkabul. Jika aku diberikan hal tersebut, apa kalian tahu hal apa yang aku inginkan?" ucapku lagi. Tapi aku memberikan jeda yang cukup lama sebelum aku melanjutkan ucapanku.
"Yang kuinginkan adalah aku dapat bertemu dengan kalian berdua. Bertemu dengan papsky dan mamsky walau hanya sebentar. Tapi aku tahu, hal itu gak mungkin terjadi, iya kan?" lanjutku.
"papsky, mamsky, hari ini aku mengunjungi kalian karena aku ingin meminta sesuatu pada kalian. Boleh kan?" tanyaku.
"Aku ingin kalian berdua datang ke dalam mimpiku nanti malam. Kurasa kalian gak akan keberatan. Aku ingin merayakan hari ulang tahunku dengan papsky dan mamsky walau itu hanya dalam mimpi. Kuharap kalian benar-benar datang," mohonku.
"Mungkin sekarang sudah saatnya aku pergi. Aku mau berlatih dulu. Baiklah, aku pergi, papsky, mamsky," pamitku.
Aku pun segera berdiri sambil tersenyum tipis, memandangi kedua batu nisan yang ada di depanku. Batu nisan dengan tulisan Puguhdi sebelah kiri dan Dewi di sebelah kanan.
"Aku sangat menyayangi kalian berdua,"
segera aku beranjak dari tempat itu, sebelum aku semakian bertambah sedih.
"Sampai jumpa,"
"Ternyata dugaanku benar, kamu ada di sini,"
tiba-tiba saja ada seseorang yang berbicara di belakangku. Dan suara ini sangat kukenal, segera saja kuberbalik guna memastikan siapa sebenarnya dia.
Thea. Itulah gadis yang sekarang ada di hadapanku. Dia tersenyum ke arahku. Dia berpakaian seperti biasanya.
"Thea, kenapa kamu ada di sini?"
akhirnya, aku berbicara juga.
"Aku lagi mencarimu, aku mau mengajakmu ke suatu tempat," sahutnya masih dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Ke mana?"
"Sudahlah, ikut saja,"
dia pun menarik tangan kiriku dengan tangan kanannya. Membawaku menjauh dari makam orang tuaku. Sepertinya sifat pemalunya kepadaku sudah benar-benar menghilang. Aku lebih suka Thea yang seperti ini. Daripada yang dulu.
Dan tiba-tiba, dia pun berhenti. Aku pun juga ikut berhenti. Sepertinya, sejak tadi aku tidak memperhatikan jalan yang kami lewati. Dan sekarang, kami berdua sudah berada di sini. Di sebuah bukit dengan pemandangan yang sangat indah berada di bawahnya. Walaupun sekarang musim hujan, tapi pemandangan di bawah sana tetap indah.
"Lang, kamu ingat ini tempat apa?"
tiba-tiba dia menatapku. Tentu saja, aku sangat ingat dengan tempat ini.
"Tempat ini adalah tempat yang sangat aku sukai. Tempat di mana kamu mengatakan kalau kamu-"
"Aku mencintaimu,"
aku pun memutus perkataan gadis yang berada di sebelahku. Kali ini, aku pun menatapnya. Aku dapat melihat wajahnya sedikit memerah karena perkataanku barusan.
"La..Lang,"
kudengar suaranya kembali seperti dulu.
"Padahal kamu itu kekasihku, tapi kamu masih saja belum terbiasa dengan kata-kata seperti itu, Thea,"
"Maaf,"
dia pun menunduk. Aku hanya tersenyum menatapnya. Dan secara perlahan mulai membawanya ke dalam dekapanku, aku memeluknya. Sepertinya dia sedikit terkejut.
"Ga..Galang,"
"Terimakasih Thea, kamu sudah mengingatkanku dengan tempat ini. Tempat di mana aku mengatakan bahwa aku mencintaimu, 37 bulan yang lalu,"
ucapku sambil memberikan bunga mawar merah pada gadis itu
"Sama-sama, Lang. Oh ya, ada sesuatu yang ingin aku katakan,"
"Hm, apa?"
aku pun melepas pelukanku.
"Selamat ulang tahun, Lang," ucapnya dan dengan sangat cepat dia mengecup pipi kiriku. Sedangkan aku hanya bisa mematung dan sudah pasti sekarang wajahku memerah.
Aku melihat dia sedikit tertawa.
"Kamu lucu Lang, kalau wajahmu memerah seperti itu," ujarnya dan detik berikutnya aku merasakan diriku dipeluk oleh seseorang.
Rupanya, kali ini dia yang memelukku. Sedangkan aku? Aku hanya bisa membalas pelukannya.
Hari ini adalah hari yang memiliki banyak arti bagiku. Hari dimana aku dilahirkan, dan yang terpenting hari di mana aku dapat menjadikan gadis di dalam pelukanku ini sebagai kekasihku. Tanggal 12 Januari, hari yang memiliki banyak kenangan bagiku baik kenangan pahit maupun kenangan manis.
.
Tidak jauh dari tempat #galathe berdiri, ada sebuah semak-semak yang masih sangat rimbun. Di sana bersembunyi beberapa orang yang sekarang sedang senyum-senyum sendiri dan menggumamkan beberapa hal.
"omg hellouw, romantisnya," gumam seorang gadis berambut panjang dengan mata berbinar.
"Galang pasti seneng banget dapat hadiah kayak gitu di hari ulang tahunnya,"
kali ini, terdengar suara lelaki.
"ya amsyong, si paku payung hebat bingit," gumam seseorang berbadan tambun.
"Hah..kenapa aku harus ikut dengan kalian? Lebih baik aku tidur di rumah saja,"
"Benar, benar. Lebih baik aku di rumah saja sambil menghabiskan seluruh keripik kentangku,"
"Sudahlah, sebaiknya kalian jangan banyak mengeluh," ujar seorang gadis.
"Galang! Awas aja kalau loe sampai melukai Thea," ucap seseorang sambil memandang GalaThe dengan wajah tidak suka.
"Tenanglah, Digo. Mana mungkin Galang berani bikin Thea terluka," ucap seorang gadis yang berusaha menenangkan Digo .
"Sukma, Axel, menurut kalian Galang dan Thea itu gimana?" tanya Ken kepada dua orang yang berdiri di belakangnya.
"Hm," hanya itulah sahutan yang Ken dapat dari dua pemuda tersebut.
Dan masih banyak lagi perkataan yang lainnya. Sepertinya semak-semak itu cukup untuk menyembunyikan mereka yang berjumlah 11 orang.
.
.
"papsky, sepertinya kita gak perlu mengkhawatirkannya lagi. Dia sudah memiliki banyak orang yang sangat menyayanginya. Sepertinya sekarang, kita sudah bisa pergi dengan tenang,"
"Ya, mamsky. Ayo, kita pergi,"
Perlahan dua sosok bayangan yang sejak tadi berada di belakang GalaThe mulai menghilang. Mereka menghilang bersamaan dengan bertiupnya angin.
.
.
The End
Nb : Pict Hanya Pemanis :)
Add my fb : @Irfun157
Follow my Ig : @Ir_fun157